Rabu, 28 September 2016

Fadhilah Al Qur'an 5

Kemuliaan adalah Al-Qur'an

عَن عَائِشَةَ رَضَيِ اللٌهُ عَنَهَا قَالَتُ:قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلَيِ اللٌهُ عَلَيِه وَسَلَمَ اِنَ لِكُلِ شَيء شَرَفاً يَتَبَاهُونَ بِه وَاِنٌ بَهَأءَ اُمٌتَيِ وَشَرَفَهَا القُرانُ. (رواه ابو نعيم في الحليه)

Dari Aisyah r.ha. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai kemuliaan yang mereka banggakan. Dan sesungguhnya kebanggaan dan kemuliaan umatku adalah al Qur’an.” (Hr. Abu Nu’aim – al HIlyah)

Banyak orang yang membanggakan keturunan, keluarga, dan sebagainya sebagai kebesaran dan kemuliaan mereka. Padahal kebanggaan bagi umat ini adalah al Qur’an, yaitu membaca, menghafal, mengajarkan, dan mengamalkannya. Setiap amalannya merupakan sesuatu yang patut dibanggakan. Betapa tidak, karena al Qur’an adalah kalam Allah Swt., Kekasih kita, yang di dunia ini tidak ada satu kebesaran pun yang dapat menyamainya. Kehebatan dunia pasti akan binasa, jika tidak sekarang, pada suatu saat nanti. Sedangkan kesempurnaan Kalamullahtidak akan binasa selamanya, bahkan karena kesempurnaannya seperti keindahan susunan dan paduan kata, penyesuaian kata, hubungan antar kalimat, berita tentang kejadian-kejadian pada masa lalu dan yang akan datang, pernyataannya terhadap tingkah laku manusia yang tidak mungkin bisa dipungkiri, misalnya kisah kaum Yahudi yang menyatakan cintanya kepada Allah tetapi enggan mati. Selain itu, pendengar akan terpesona dan pembacanya tidak akan bosan membacanya. Setiap susunan kata akan menimbulkan rasa cinta. Seindah apa pun surat dari seorang yang kita cintai hingga membuat kita mabuk cinta, kita akan bosan setelah membacanya sepuluh kali. Jika tidak, mungkin pada yang kedua puluh atau keempat puluh kalinya. Bagaimanapun juga, pasti ia akan bosan. Sedangkan al Qur’an, jika kita menghafal satu ‘ain, kita tidak akan bosan membacanya, walaupun untuk kedua ratus atau keempat ratus kalinya, bahkan selama hidup kita, kita tidak akan merasa bosan. Jika ada sesuatu yang menghalangi kita untuk membacanya, itu hanya bersifat sementara dan pasti akan hilang. Semakin sering membacanya akan semakin terasa keindahan dan kenikmatannya.

Begitu hebatnya keistimewaan al Qur’an sehingga seandainya ada perkataan selain al Qur’an yang memiliki satu saja (walaupun tidak seluruhnya) dari keistimewaan tersebut, betapa dibanggakannya. Apalagi jika seluruhnya, tentu akan lebih membanggakan.

Sekarang marilah kita memikirkan diri kita, berapa banyaknya diantara kita yang merasa bangga sebagai hafizh al Qur’an, dan berapa banyak di antara kita yang menghormati dan bangga terhadap hafizhal al Qur’an? Sayangnya, kita lebih merasa bangga dengan gelar dan pangkat yang tinggi, padahal setelah meninggal dunia, semua itu akan ditinggalkan. Kepada Allah lah kita mengadu.

Al-Qur'an sebagai Bekal

عَن اَبيِ ذًرٍ رَضَيِ اللٌهُ عَنهُ قَالَ : قُلتُ يَارَسُولَ اللٌهِ صَلَيِ اللٌهُ عَلَيهِ وَسَلَمَ اَوصِنيِ قَالَ عَلَيكَ بِتَقوَي اللٌهِ فَانٌهَا رَاسُ الآمرِ كُلٌهِ قُلتُ يَارَسُولَ اللٌهِ زَدنيِ قَالَ عَلَيكَ بِتِلآوَةِ القُرانَ فَاِنٌه نُورُلَكَ فيِ لآرضِ وَذٌخرُ لَكَ فيِ الٌسَمَأءِ. (رواه أبن حبان في صحيحه في حديث طويل)

Dari Abu Dzar r.a., ia menceritakan, “Aku pernah berkata pada Rasulullah saw., ‘Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat! ‘Rasulullah saw. bersabda, ‘Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah Swt., karena takwa adalah akar dari setiap urusan.’ Saya berkata lagi, ‘Wahai Rasulullah, tambahkan wasiat untukku!’ Rasulullah pun bersabda, ‘Hendaklah engkau membaca al Qur’an, karena sesungguhnya al Qur’an itu nur bagimu di muka bumi dan bekal yang disimpan di langit.”(Hr. Ibnu Habban)

Sesungguhnya takwa adalah akar segala urusan. Hati yang memiliki rasa takut kepada Allah tidak akan pernah bermaksiat kepada-Nya dan tidak akan mengalami kesusahan. Firman Allah Swt.

ومن يَّتَقِ اللهَ يَجْعَلْ لهُ مَخْرَجاً ًوَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ.....

“…Barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka akan dijadikan baginya jalan keluar dari segala kesusahan dan diberinya rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka…” (Qs. Ath Thalaq [65] : 2-3)

Dari beberapa riwayat yang lalu kita telah mengetahui tentang nur tilawat al Qur’an. Disebutkan dalam Syarh Ihya dariMa’rifah Abu Nuaimbawa Basith r.a.meriwayatkan dari Nabi saw., sabdanya, “Rumah-rumah yang didalamnya terdapat bacaan al Qur’an akan terlihat bersinar oleh para penduduk langit sebagaimana bintang-bintang terlihat bersinar oleh para penduduk bumi.”

Dalam kitab at Targhib dan yang lainnya, hadits di atas telah diringkas dari sebuah hadits panjang yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibbandan yang lainnya. Mulla Ali Qari rah.a.telah menulisnya secara rinci, sedangkan Imam Suyuthi sedikit meringkasnya. Walaupun bagian hadits diatas telah mencukupi keperluan risalah ini, seluruh hadits tersebut mengandung banyak hal penting dan bermanfaat. Oleh karena itu, maksud seluruh hadits diatas akan dijelaskan di bawah ini:

Abu Dzar al Ghifari r.a. menceritakan: Saya bertanya kepada Nabi saw., “Berapa banyakkah kitab yang telah diturunkan oleh Allah?”

Beliau menjawab, “Seratus shahifah dan empat kitab suci. Lima puluh shahifah diturunkan kepada Syits a.s., tiga puluh shahifah kepada Idris a.s.,sepuluh shahifah kepada Ibrahim a.s. sepuluh mushaf kepada Musa a.s. sebelum Taurat diturunkan kepadanya. Dan selain mushaf-mushaf itu ada empat kitab suci yang diturunkan kepadanya. Dan selain mushaf-mushaf itu ada empat kitab suci yang diturunkan, yaitu Taurat, Zabur, Injil, dan al Qur’an.’ Saya bertanya lagi, ‘Apakah kandungan mushaf-mushaf yang diturunkan kepada Ibrahim a.s.?’ Beliau menjawab, ‘Berisi tamsil-tamsil, misalnya:

‘Wahai raja yang kuat dan angkuh! Aku tidak melantikmu untuk mengumpulkan harta, tetapi Aku melantikmu untuk mencegah sampainya do’a seseorang yang dizhalimi. Kamulah yang harus lebih dulu memperbaikinya, karena Aku tidak menolak doa orang yang didzhalimi walaupun dia seorang kafir.”

Hamba yang hina ini (Maulana Zakariya – pent.) menyatakan, “Jika Nabi saw. akan mengangkat seorang sahabatnya sebagai gubernur atau hakim, maka beliau dengan penuh perhatian akan menambahkan di dalam nasihatnya:

Takutilah do’a orang yang teraniaya, karena sesungguhnya antara ia dengan Allah tidak ada hijab.”

Dalam sebuah syair Persia disebutkan,

“Berhati-hatilah dengan keluhan orang yang teraniaya jika mereka berdo’a karena penerimaan Allah itu dekat dengan mereka.”

Juga disebutkan dalam shahifah-shahifah tersebut bahwa orang yang berakal sehat selama akalnya masih normal, hendaknya ia membagi seluruh waktunya menjadi tiga bagian, yaitu: (1) Untuk beribadah kepada Rabbnya; (2) Untuk menghisab dirinya, beberapa banyak keburukan atau kebaikan yang telah ia lakukan; (3) Untuk mencari penghasilan yang halal.

Seseorang yang berakal juga harus mengatur waktunya, memperbaiki dirinya, dan menjaga lidahnya dari bicara yang sia-sia. Orang yang selalu menghisab setiap ucapannya, maka lidahnya akan berkurang dari bicara sia-sia. Orang yang berakal juga tidak akan berpergian kecuali untuk tiga tujuan, yaitu: (1) Mencari bekal akhirat; (2) Mencari nafkah sekadarnya; (3) Bersantai yang diperbolehkan (oleh agama).

Abu Dzar r.a. bertanya lagi, “Ya rasulullah, apakah kandungan shahifah yang diturunkan kepada Musa a.s.?” Beliau menjawab, “Semuanya berisi pelajaran-pelajaran, misalnya: ‘Aku heran terhadap orang yang meyakini kematian, tetapi ia masih bergembira dengan sesuatu, (biasanya seseorang jika telah diputus akan di hukum mati, ia tidak akan merasa tenang dengan apapun). Aku heran terhadap orang yang meyakini kematiannya, tetapi ia masih bisa tertawa. Aku heran terhadap orang yang selalu memperhatikan kejadian-kejadian, perubahan-perubahan, dan gejola dunia, tetapi ia masih merasa tenang dengannya. Aku heran terhadap orang yang meyakini takdir, tetapi ia masih berduka cita bersedih hati. Aku heran terhadap orang yang meyakini hisab itu dekat, tetapi ia tidak beramal shalih.

Abu Dzar r.a. meminta lagi,. “Ya Rasulullah, tambahkan lagi wasiat untukku!”

Pertama-tama Rasulullah saw. mewasiatkan takwa kepadaku. Lalu beliau bersabda, “Takwa adalah dasar dan akar segala urusan.”

Aku memonta lagi, “Ya Rasulullah, tambahkan lagi wasiat untukku.” Beliau bersabda, “Perbanyaklah membaca al Qur’an dan mengingat Allah, karena yang demikian itu adalah nur bagimu di bumi dan simpanan bagimu di langit.”

Aku meminta lagi, “Tambahkan lagi wasiat untukku!”

Beliau bersabda, “jangan banyak tertawa, karena sesungguhnya banyak tertawa itu akan mematikan hati dan menghilangkan nur wajah (merugikan jasmani dan Ruhani).” Beliau bersabda lagi, “Pentinglah jihad, karena jihad adalahrahbaniah umatku. (Pada zaman dahulu, rahib adalah orang-orang yang memutuskan seluruh hubungan dengan dunia dan diri mereka hanya pasrah kepada Allah).”

Aku minta tambahan lagi. Lalu ia bersabda, “Pandanglah selalu orang-orang yang berada dibawahmu (lebih rendah darimu), dengan begitu kamu dapat bersyukur; dan jangan memandang orang yang berada diatasmu, sehingga kamu akan meremehkan nikmat Allah.”

Aku meminta tambahan lagi. Lalu beliau bersabda, “Hendaklah keburukanmu menahanmu dan mencaci orang lain. Dan janganlah mencari aib orang lain, sedangkan kamu sendiri melakukannya. Cukuplah sebagai bahan untuk mencela dirimu bahwa kamu melihat aib orang lain, sedangkan aib itu ada pada dirimu tetapi kamu tidak menyadarinya, atau kamu mengoreksi kesalahan orang lain sedangkan kamu sendiri melakukannya.” Kemudian dengan tangannya yang mulia, Nabi saw. menepuk daadku sambil bersabda, “Wahai Abu Dzar, tidak ada kebijaksanaan yang lebih baik daripada pengaturan, tidak ada ketakwaan yang lebih baik daripada menjauhi larangan, dan tidak ada kemuliaan yang lebih baik daripada sopan santun.”

Ini hanyalah ringkasan maksud hadits diatas, sedangkan terjemah tekstual tidaklah demikian.

Membaca Al-qur'an Dalam Madrasah

عَن اَبيِ هُرَيَرةَ رَضَيِ اللٌهُ عَنهُ أنَ رَسُولَ اللٌهِ صَلَيِ اللٌهٌ عَلَيهِ وَسَلَم قَالَ مَا اجٌتَمَعَ قَومُ فيِ بَيتٍ مِن بُيُوتِ اللٌهِ يَتلُونَ كتَابَ اللٌهِ وَيَتَدَا رَسُونَه فِيمَا بَيْنَهُم إلا نَزَلتْ عليْهمُ السَكِينَةُ وَغَشِيتهُمُ الرَّحمةُ وَحَفَتهمُ الملآئكةُ وَذَكَرَهُمُ اللٌهُ فِيمَن عِندَهُ. (رواه مسلم وابو داوود)

Dari Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah dari rumah-rumah Allah, mereka membaca kitab Allah dan saling mengajarkannya di antara mereka, melainkan diturunkan ke atas mereka sakinah, rahmat menyirami mereka, para malaikat mengerumuni mereka, dan Allah Swt. menyebut-nyebut mereka di kalangan (malaikat) yang ada disisinya.” (Hr. Muslim dan Abu Dawud)

Hadits ini menerangkan keutamaan khusus madrasah-madrasah dan pondok pesantren yang memiliki berbagai kemuliaan. Setiap kemuliaan itu memiliki derajat sangat tinggi, sehingga jika seseorang menghabiskan umurnya untuk mendapatkan suatu kemuliaan saja, itu pun masih murah dan sangat banyak nikmat yang diperolehnya. Khususnya keutamaan yang terakhir, yaitu akan disebut-sebut di majelis Allah. Dan disebutnya nama kita dimajelis Kekasih kita merupakan nikmat yang tidak bisa dibandingkan dengan apapun.

Mengenai turunnya sakinah telah banyak disebutkan dalam berbagai riwayat. Ulama hadits telah banyak menjelaskan penafsirannya, tetapi tidak ada pertentangan diantara perbedaan mereka, bahkan jika disatukan akan memiliki maksud yang sama.

Ali r.a. menafsirkan sakinah adalah sejenis udara khusus yang mempunyai wajah manusia. Suji rah.a. berpendapat bahwasakinah adalah nama sejenis mangkuk di surge yang terbuat dari emas yang digunakan untuk mencuci hati para Nabi. Sebagian ulama mengatakan bahwa sakinah adalah suatu rahmat khusus. Thabrani rah.a.mendukung pendapat yang mengatakan bahwa sakinah adalah ketenangan hati. Sebagian lagi menafsirkan sakinah sebagai kedamaian. Pendapat lain menyebutkansakinah sebagai kewibawaan. Dan lainnya lagi menafsirkan sakinah adalah malaikat. Selain itu masih banyak penafsiran lainnya.

Hafizh Ibnu Hajar rah.a. menulis dalamFathul-Bari bahwa arti sakinah mencakup semua yang telah disebutkan di atas. Imam Nawawi rah.a menafsirkan bahwa sakinah adalah gabungan antara ketenangan, rahmat, dan lain-lainnya, yang diturunkan bersama malaikat.

Allah Swt. Berfirman,

“Maka Allah menurunkan sakinah-Nya ke atasnya.” (Qs. At Taubah [9] : 40).

Dalam ayat yang lain disebutkan:

“Dialah yang menurunkan sakinah ke dalam hati orang-orang yang beriman.” (Qs. Al Fath [48]:4)

“…Di dalamnya terdapat ketenangan dari Rabbmu…” (Qs. Al Baqarah [2]:248)

Ternyata banyak sekali ayat al Qur’an dan hadits yang menyebutkan kabar gembira itu. Diriwayatkan dalam kitab Ihya bahwa Ibnu Tsauban r.a. pernah berjanji kepada saudaranya bahwa ia akan berbuka shaum bersama, tetapi ternyata ia baru tiba keesokan paginya. Ketika saudaranya menanyakan penyebab keterlambatannya, Ibnu Tsauban menjawab, “Seandainya bukan karena janjiku kepadamu, tentu aku tidak akan membuka rahasia keterlambatanku ini. Kejadiannya adalah sebagai berikut: tanpa disengaja aku telah terlambat hingga waktu Isya. Setelah shalat Isya aku merasa bahwa aku harus shalat Witir, karena aku tidak tenang jika kematian datang pada malam itu, dan hal itu akan menjadi sisa tanggung jawabku. Ketika aku sedang membaca do’a Qunut, terlihat olehku sebuah taman Surga hijau yang dipenuhi berbagai jenis bunga. Demikian asyiknya aku memandang taman itu, sehingga tanpa terasa tibalah waktu Shubuh.”

Kisah seperti di atas juga telah banyak terjadi pada alim ulama kita dahulu, namun hal itu akan diperoleh jika telah terputus hubungan dengan segala sesuatu kecuali dengan Allah semata, serta dengan bertawajuh secara sempurna kepada-Nya.

Mengenai ‘malaikat yang datang mengelilingi’, banyak riwayat yang menjelaskan hal itu. Demikian juga mengenai kisah Usaid bin Hudhair r.a., telah banyak dijelaskan dalam kitab-kitab hadits. Yaitu ketika ia sedang membaca al Qur’an, ia merasa ada segumpal awan mendekatinya. Ketika hal itu ditanyakan kepada Nabi saw.maka beliau bersabda, “Itu adalah para malaikat yang datang untuk mendengarkan bacaan al Qur’an. Begitu banyak malaikat yang datang, sehingga terlihat seperti kumpulan awan.” Suatu ketika, seorang sahabat merasakan ada awan yang mengiringinya, maka Rasulullah saw.bersabda, “Itu adalah sakinah,” yaitu rahmat yang diturunkan karena bacaan al Qur’an. Dalam Shahih Muslim, hadits ini diriwayatkan dengan lebih jelas lagi, dan kiamat terakhir dari hadits tersebut adalah:

“Siapa yang karena kemaksiatannya menjauhkan ia dari rahmat Allah, maka kemuliaan keturunannya tidak dapat mendekatkan dirinya kepada rahmat Allah.”

Orang yang mulia nasabnya tetapi sering berbuat dosa dan maksiat tidak dapat disamakan di hadapan Allah dengan orang yang hina nasabnya tetapi bertakwa kepada Allah. Al Qur’an menyebutkan:

‘….Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa…” (al Hujarat [49]:13)

40 Hadits Fadilah Al Qur'an
copyright @PeM Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar