Perjalanan manusia untuk mendekatkan diri pada Alloh sebagai Robbnya, sebenarnya tak jauh, menjadi jauh karena semakin beragamnya keinginan nafsu, semakin banyak lagi yang diinginkan oleh nafsu, kesenangan-kesenangan yang bersifat kepuasan, entah kepuasan dzahir atau kepuasan batin, maka makin jauh perjalanan yang harus ditempuh untuk menuju Alloh.
Sekian tahun, yang dilewati oleh manusia itu gelora samudra kepuasannya, yang dilewati manusia itu padang gersang ketamakannya akan kesenangan. Andai saja manusia itu mau melepaskan segala macam keinginan, ingin dipuji, ingin diagungkan, ingin dihormati, ingin punya kedudukan dan pangkat, pangkat di hadapan manusia, maupun pangkat di hadapan Alloh, maka jika semua telah tak ada yang bersemayam segala macam keinginan, ketika Nur makrifat itu melintas di lapangan hati manusia yang bersih dari keinginan, maka cahaya itu akan menumbuhkan aneka macam tetumbuhan ilmu dan hikmah.
Tak perlu manusia itu menjadi sakti, atau belajar agar sakti, ALLAH itu lebih sakti dari semua yang Dia ciptakan, dan wafadholALLAHu ba’dokum ala ba’din, ALLAH itu akan memberikan berbagai anugerah keutamaan, kepada hamba yang satu dari hamba yang lain, sesuai kadar ketaqwaannya, dan ketaqwaan itu terukur sesuai kadar keikhlasannya, dan keikhlasan itu ada karena paham dan tau, jika dia tidak ikhlas itu maka tak ada nilainya suatu kadar bobotnya ibadah, dan untuk menjadi mukhlisin atau orang yang ikhlas itu tidak cukup sehari dua hari hati digosok, karena kecenderungan nafsu menguasai hati, dan ditambah dengan khotir atau bisikan-bisikan syaitan yang menanamkan bibit virus, akan subur berkembang, jika apa yang dimakan manusia kemudian adalah sesuatu yang diharamkan.
Tak ada seorangpun yang ma’sum dan terjaga dari tipu daya, kecuali Nabi Muhammad SAW. dan kita sebagai manusia biasa, seringkali mudah tertipu.
Tertipu oleh prasangka dan ketidakpastian.
Seperti Nabi Muhammad ketika ditemui Jibril dalam berbagai bentuk, lalu Nabi tak tertipu dengan perubahan bentuk yang satu pada bentuk yang lain.
Sementara kadang kita jika ditemui oleh bayangan di dalam mimpi, seorang yang memakai jubah, lalu kita menyangka itu seorang wali, padahal syaitan amat mudah menyerupai dalam bentuk apapun, untuk menipu daya manusia, agar kita kemudian menjalankan amaliyah bukan lagi karena mencari ridho ALLAH, tapi karena menuruti orang yang berjubah itu.
_____________________________________
Taqdir itu adalah ketentuan Alloh, telah digariskan dan tak siapa mampu mengelak, dan siapa saja tak tau taqdirnya, bahkan jika ditaqdirkan buruk, tak ada yang tau, tapi perlu diingat taqdir itu ALLAH yang membuat, maka ALLAH juga yang mampu merubah, kita manusia jika tidak menyandarkan diri pada ALLAH, bagaimana jika kita ternyata ditaqdirkan buruk, maka do’a kita, permintaan kita supaya Alloh menjadikan yang buruk menjadi baik.
Do’a itu pedangnya orang Islam, Addu’a’u syaiful muslimin, coba kita bayangkan pedang yang belum jadi, pedang itu kalau ingin dijadikan pedang, maka dipilih besi yang unggul, kuwalitas terbaik, lalu besi dibakar agar mudah dibentuk, dipukuli sampai besi menjadi bentuk yang diinginkan.
Jika besi itu tak dibakar tentu akan susah dibentuk, dan jika sudah dibentuk maka diasah berulang-ulang, agar besi menjadi pedang yang bila dipakai memotong apapun akan dengan mudah terpotong.
Antara kita yang pedang sendiri, dengan kita memegang pedang tentu beda, manusia yang telah menjadi pedang, maka pandangan matanya adalah pedang, hatinya pedang, tangannya pedang dan kehendaknya adalah pedang.
Kita ini pedang, kitalah yang akan dipakai berdo’a, bukan orang yang membaca do’a,
“Berdo’alah pada-KU”, kata perintah berdo’a dan do’a seperti satu kesatuan yang tak terpisah.
Jadi kita inilah yang seharusnya dibentuk menjadi do’a yang tajam.
Nafsu kita dibakar, nafsu keinginan yang menyala-nyala pada apa yang kita inginkan, itu dibakar, agar keinginan hati itu bisa diarahkan pada yang bukan keinginan nafsu, kita bakar dengan lelaku Atau Prilaku Artinya Penerapan Teori Kedalam Praktek, kita tempa dengan ibadah tiada henti, agar Terbentuk kepribadian yang terarah pada kehendak Sang KHALIQ itu terwujud pada segala gerak dan tingkah laku, sehingga orang Sudah tak bisa membedakan lagi, kita ibadah atau bukan sedang menjalankan ibadah, sebab setiap gerak telah semuanya Menjadi ibadah, seperti orang sudah tak melihat bentuk besi, semua telah menjadi bentuk pedang.
Pembentukan diri menjadi sebuah pedang yang mumpuni, maka diserahkan pada empu yang mumpuni, jangan diserahkan pada tukang membuat roti, bisa jadi nanti menjadi pedang yang lembek.
Diri dibentuk menjadi do’a ruh dan jasadnya, maka diri diserahkan kepada guru yang matang di bidangnya. Sehingga pembentukan diri dicapai dengan maksimal, setelah diri menjadi do’a, kemudian diasah, Suka melihat orang yang mengasah pedang kan..??, tangannya maju mundur, sama diri melakukan istiqomah, dzikir dilakukan berulang-ulang, jika cuma digerenda Atau dikikir maka pedang walau tajamnya cepat, juga akan menjadi besi muda, mudah patah, tapi jika diasah, maka akan terjadi penumpukan elemen, menjadi pedang yang kuat dan tajam.
Jika diri diasah dengan amaliah yang berulang-ulang ikhlas, maka diri akan setajam pedang dalam berdo’a.
Teori itulah yang jika di praktekkan, dan tak henti, siang malam menjalankan laku. Suatu lelaku maka tidak berarti tidak berimbas pada sekeliling kita, justru amat besar imbasnya bagi lingkungan kita.
Segala jin, malaikat, itu semua sama mahluq-Nya, ciptaan-Nya, semua terbatas oleh keterbatasan, tapi kalau Alloh tak terbatas dan tak berhalangan.
_____________________________________
Kyai Nur Rozak
Terbitan
17 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar